
Dalam kerangka “Game Theory“, kebijakan proteksionis Donald Trump bukanlah tindakan impulsif semata, melainkan permainan non-cooperative yang terstruktur. Amerika Serikat di bawah Trump berperan sebagai Stackelberg Leader—sebuah entitas yang memaksakan first-mover advantage untuk mendikte langkah strategis negara lain, termasuk Indonesia. Logika di baliknya lugas tapi kejam: “America First” diterjemahkan sebagai upaya memaksimalkan utilitas nasional dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, sekalipun harus menciptakan zero-sum game.
Brinkmanship sebagai Senjata Psikologis
Trump mengadopsi brinkmanship dengan sengaja mendorong situasi ke ambang krisis—ancaman tarif mendadak, retorika dagang yang provokatif, dan ketidakpastian kebijakan dirancang untuk memicu panic response. Dalam terminologi permainan, ini adalah taktik “madman theory” (diambil dari era Nixon, tetapi dimodifikasi dengan gaya Trump yang lebih chaos). Dengan berpura-pura tidak rasional (irrational actor), ia memaksa lawan mengalah demi menghindari kerugian total.
Chicken Game: Permainan Keberanian yang Asimetris
Dinamika Chicken Game terlihat jelas dalam perang dagang AS-Tiongkok atau tekanan pada sekutu seperti UE dan ASEAN. Trump mengendarai “truk raksasa” ekonomi AS, sengaja melaju lurus, sambil berharap pihak lain (yang hanya memiliki “mobil kecil”) akan menepi duluan. Indonesia, dengan ketergantungan ekspor dan pasar finansial yang rentan, kerap terjebak dalam posisi follower – terpilih mematuhi aturan yang ditetapkan Washington atau menghadapi risiko retaliation (misalnya, ancaman tarif nikel atau embargo sawit).
Dilema Indonesia: Kooperasi atau Defiansi?
Di sini, pilihan Indonesia terbatas:
- Tit-for-Tat: Membalas dengan tarif selektif, tetapi berisiko memicu eskalasi.
- Prisoner’s Dilemma: Bekerja sama dengan negara lain (misalnya, lewat ASEAN atau RCEP) untuk menciptakan bargaining power kolektif.
- Folded Strategy: Menyerah pada tekanan AS dengan imbalan akses pasar—tapi mengorbankan kedaulatan ekonomi.
“Kritik terhadap Pendekatan Trump”
Meski efektif jangka pendek, strategi Trump mengabaikan repeated games: reputasi AS sebagai partner dagang terpercaya rusak, dan negara-negara mulai mencari exit strategy (diversifikasi pasar, dedolarisasi). Dalam jangka panjang, non-cooperative game justru bisa memicu trade fragmentation dan merusak stabilitas global.
“Bagaimana Masa Depan Strategi Donald Trump dalam Kacamata Game Theory & Dampaknya yang Berlapis?”
Donald Trump kembali memimpin AS, pendekatannya yang penuh strategi dalam politik global akan semakin matang, tapi juga menghadapi tantangan baru. Dunia kini lebih siap, dan permainannya menjadi semakin kompleks. Mari kita telusuri bagaimana perkembangan ini bisa berlangsung dan apa artinya bagi negara-negara seperti Indonesia.
- Brinkmanship yang Lebih Terkalkulasi
Trump dikenal gemar bermain di tepi jurang, tapi kali lain, ia mungkin membawa taktik ini ke level lebih tinggi:- Tarif sebagai Senjata: Bukan tidak mungkin tarif umum 10% atau lebih diberlakukan untuk semua impor AS, dijadikan alat tawar-menawar.
- Sanksi yang Lebih Targetted: Pembekuan aset atau larangan akses ke sistem keuangan AS bisa digunakan untuk menekan negara yang dianggap “bandel”.
- Perang Dagang Selektif: AS mungkin memaksa sekutu untuk memilih antara bekerja sama dengannya atau dengan rival seperti Tiongkok.
Dampaknya bagi Indonesia:
- Ekspor andalan seperti nikel, sawit, atau tekstil bisa terkena imbas jika AS merasa Indonesia tidak cukup “kooperatif”.
- Tekanan untuk memihak dalam persaingan AS vs. Tiongkok bisa menguji prinsip politik luar negeri bebas-aktif Indonesia.
- Chicken Game dengan Ketergantungan Ekonomi
Trump suka memaksa lawannya untuk mengalah duluan, dan ia tahu banyak negara—termasuk Indonesia—bergantung pada pasar AS.- Leverage Utang & Institusi Keuangan: AS bisa memengaruhi kebijakan melalui IMF atau Bank Dunia.
- Ketidakpastian yang Disengaja: Fluktuasi nilai dolar atau perubahan kebijakan mendadak bisa dipakai untuk melemahkan lawan sebelum negosiasi.
Contoh Kasus :
- Jika Indonesia mencoba mengurangi ketergantungan pada dolar AS, misalnya dengan menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan, AS mungkin merespons dengan pembatasan aliran modal atau tekanan politik.
- Ancaman sanksi sekunder—seperti yang pernah diterapkan pada Iran—bisa digunakan jika Indonesia terlalu dekat dengan Tiongkok.
- Dunia yang Semakin Pandai Menghadapinya
Negara-negara kini lebih berpengalaman menghadapi gaya Trump. Mereka mungkin mulai:- Membalas dengan Tarif Selektif: Indonesia bisa mengenakan tarif pada produk-produk AS tertentu sebagai bentuk tekanan balik.
- Memperkuat Koalisi Regional: ASEAN mungkin menggalang kerja sama perdagangan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
Tantangannya:
- Kekuatan ekonomi yang tidak seimbang membuat respons seperti ini berisiko.
- Perbedaan kepentingan di antara negara-negara ASEAN bisa menyulitkan respons yang solid.
- Memecah Belah untuk Menguasai
AS di bawah Trump mungkin akan terus melemahkan blok-blok multilateral dengan:- Perjanjian Dagang Bilateral: Menawarkan kesepakatan menguntungkan pada negara tertentu untuk memecah persatuan regional.
- Strategi “Pecah dan Kuasai: Mendekati satu negara sambil mengisolasi negara lain yang dianggap kurang bersahabat.
Dampak Jangka Panjang:
- Sistem perdagangan global bisa semakin terfragmentasi, dengan WTO kehilangan relevansi.
- Indonesia mungkin terjerat dalam banyak perjanjian dagang yang rumit dan kurang menguntungkan.
- Akhir Permainan: Menang Tapi Rusak atau Perang Dingin Baru?
- Jika AS Berhasil: Dominasi ekonomi AS menguat dalam jangka pendek, tapi kepercayaan global terhadap AS terkikis, mendorong lebih banyak negara mencari alternatif.
- Jika AS Gagal: Negara-negara membentuk aliansi tandingan (seperti BRICS+), mengurangi ketergantungan pada dolar, dan memicu perang dagang berkepanjangan.
Yang Terburuk bagi Indonesia:
- Terjepit dalam persaingan teknologi AS-Tiongkok, menghadapi larangan ekspor atau investasi di sektor strategis.
- Industri dalam negeri kewalahan menghadapi gempuran produk impor murah dari AS atau Tiongkok.
Lalu, Apa yang Bisa Indonesia Lakukan?
Untuk tidak sekadar jadi penonton, Indonesia perlu:
- Memperkuat Persatuan Regional: Bersama ASEAN dan mitra seperti Uni Eropa atau India, Indonesia bisa menciptakan kekuatan tawar lebih besar.
- Mendorong Diversifikasi Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada satu atau dua pasar utama dengan membuka lebih banyak kemitraan.
- Cerdas Memanfaatkan Isu Lain: Misalnya, menawarkan kerja sama di bidang lingkungan atau keamanan sebagai pertukaran kelonggaran dagang.
- Investasi di Teknologi & SDM: Agar tidak terjebak dalam persaingan teknologi, Indonesia harus memperkuat kemandirian di sektor-sektor kritis.
Penutup
Permainan Trump bukan sekadar soal tarif atau cuitan provokatif—ia adalah bagian dari pergeseran besar dalam politik global, di mana aturan lama mulai pudar. Indonesia tidak bisa hanya bereaksi, tapi harus bermain cerdas dengan strategi jangka panjang. Tantangannya besar, tapi peluang untuk lebih mandiri dan berpengaruh di panggung dunia juga terbuka lebar. Mari kita cermati dan berselancar dengan cerdas dalam gelombang gelombang kejutan ekonomi di masa mendatang.
Ferry Hermansyah
Chairman Leadership Nasional Asia
Spesialis Strategi Bisnis & GRC
Disclaimer On